Pengantar Filsafat
Ngaji Filsfat
Fahruddin Faiz
Pengulas : DewaRC
Belajar
Filsafat adalah suatu cara yang dapat kita lakukan untuk menuju pada suatu hal
kebenaran. Tapi filsafat juga tidak bisa dikatakan suatu kebenaran mutlak. Karena
apabila dirujuk pada definisi kata filsafat antara Philo yang berarti “suka, cinta, gemar” dan Philia yang berarti “bijaksana”,
maka akan didapatkanlah arti filsafat yang sebenarnya yaitu suka/cinta/gemar
kebijaksanaan. Jadi filsafat, itu bisa juga dikatakan belajar untuk menemukan
kebenaran, tetapi kata kebenaran tidak bisa dijadikan final pada setiap permasalahan, karena kebenaran tidak bisa
memiliki arti yang leluasa di banding dengan kata kebijaksanaan atau bisa juga
dikatakan tidak bisa Pas. Misalnya contoh
seperti ini. Ada seorang teman kamu yang memiliki tubuh gemuk, lantas kamu
memanggilnya dengan sebutan ndut, ndut, ndut. Hal tersebut memanglah suatu
kebanaran, karena kondisi badannya memang gemuk dan kamu benar memanggilnya dengan
sebutan gendut-gendut. Tetapi, kebenaran ini agak tidak pas diterima, karean
tidak sesuai dengan proposional dan porposionalnya. ia tidak menempatkan
posisinya pada sesuatu yang Pas dan
membuat kamu menjadi tidak bijaksanaan. Itulah mengapa arti filsafat lebih baik
menjadi kebijaksanaan daripada menjadi kebenaran. Karena kebenaran itu hanyalah
menjadi jembatan penghubung untuk menuju ke suatu kebijaksanaan.
Sering kali kita menemui problematika
permasalahan menyangkut ilmu pengetahuan ini. Banyak yang beranggapan bahwa
belajar filsafat adalah menyesatkan orang, menjadikan diri Atheisme, merusak
tatanan pikiran sosial dan budaya, dan masih banyak lagi. Kasus-kasus seperti
inilah yang sering terjadi ditengah-tengah masyarakat. Mengapa demikian ?
karena orang-orang tersebut menjadikan filsafat itu sebagai “Produk berfikir”. Ketika
Filsafat itu menjadi produk berfikir, maka hal seperti diataslah yang akan
terjadi, karena produk tersebut dilahirkan oleh para filsuf-filsuf yang
memiliki alur berpikir, gaya, pengalaman, keilmuan dan latar belakang berbeda-beda.
Misalkan mempelajari filsafat eksistensialismenya Nietsche, ketika mereka
berhadapan pada pemikiran Nietsche yang membunuh Tuhan, maka mereka yang
mengonsumsi pemikiran tersebut, akan beranggapan bahwa mereka akan menjadi
Atheis, dan beranggapan filsafat adalah ilmu yang dapat membuat orang menjadi
Atheis. Nah pola pemikiran inilah yang disebut dengan melihat filsafat sebagai
produk berfikir. Padahal tidak semua pelaku filsafat itu memiliki kesamaan
bidang yang mereka bedah. Seperti contoh misalnya, Nietche dan Muhammad Iqbal. Mereka
sama-sama penganut aliran Eksistensialisme, tetapi keduanya memiliki perbedaan
yang sangat bersebrangan. Muhammad Iqbal membawa Eksistensialismenya pada
kepercayaan Ketuhanan, dan Nietsche membawa Eksistensialismenya pada pembunuhan
Tuhan. Jadi filsafat itu tidak bisa langsung dipandang melalui produk pemikiran
saja. Mengapa demikian, karena inilah yang nanti bakal menjadi satu permasalahan
baru, dan membuat keilmuan filsafat menjadi tabuh dan tidak patut untuk
dipelajari. Padahal dalam artinya, filsafat adalah suatu ilmu yang bertujuan
untuk mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Itulah mengapa, filsafat harus
dipandang sebagai “alat berpikir”. Karena apabila kita memposisikan filsafat
itu menjadi “alat berpikir”, maka kita akan dapat secara langsung mempelajari
manfaat-manfaat dari filsafat itu sendiri. filsafat yang digunakan sebagai alat
berpikir, mampu menjadi alat yang bisa membawa kita menjawab realitas-realitas
yang ada pada kehidupan ini.
Dua
paragraf tulisan diatas, merupakan hal yang paling dasar kawan-kawan harus tau
mengenai filsafat. Karena belajar filsafat sering kali membuat kita tersesat
pada definisi dan pengantarnya. Apabila kita sudah tersesat diawal, maka kita
sendiri akan beranggapan negatif pada ilmu tersebut.
Selanjutnya,
saya akan menjelaskan sedikit awal mulanya lahir filsafat. Filsafat lahir
ketika orang-orang sudah tidak lagi percaya lagi atas jawaban-jawaban yang
bersifat Mystic (mitos) pada persoalan-persoalan
kehidupan. Para orang-orang terdahulu, selalu meletakkan hal-hal yang berbau
mitos itu menjadi satu kebenaran mutlak. Seperti contoh misalnya, hujan berasal
dari air mata dewi hujan yang tengah menangis. Atau badai dan halilintar berasal
dari dewa-dewa langit yang tengah marah, dan masih banyak contoh-contoh yang
lainnya. Pada era terhadulu, orang-orang sangat mempercayai akan hal-hal yang
bersifat mistik. Menyangkutkan semua hal yang terjadi pada kehidupan, itu
merupakan sesuatu yang dilakukan dewa-dewa. Padahal apabila diteliti
menggunakan keilmuan, ternyata itu hanya gejala alam yang memang terbentuk karena
terdapat sifat-sifat dan variabel yang membentuknya. Cara berpikir seperti
inilah yang nantinya akan menjadi lawan dari cara berpikir Logos (logis). Cara berpikir logis, adalah suatu cara pemecahan
masalah yang menggunakan ide, nalar dan pikiran. Misalnya contoh, mengapa bisa
terjadi hujan ?, karena terjadi proses alamiah alam yang berupa penguapan air laut
ke udara. Lalu air tersebut dibawah angin menuju kedaratan. Apabila kadar air
sudah banyak, maka air tersebut akan tumpah ruah . maka itulah yang kita sebut
dengan hujan. Nah cara berpikir seperti ini, yang disebut denga Lhgos
atau logis. Jadi, pergeseran cara berpikir dari Mystic (mitos) menuju ke Logos
(logis) inilah yang merupakan titik awal lahirnya filsafat dimuka bumi ini.
Cara berpikir logis itu menunjukkan pada sikap
berpikir “Rasional”. Dan cara berpikir rasional, itu bersifat universal
(diterima disegala tempat). Berbeda dengan cara berpikir mitos. Mitos tidak
memiliki sifat universal. Karena ia hanya bisa diterima, dimana tempat mitos
itu sendiri berkembang. Seperti contoh misalnya, 1+1 = 2. Maka jawaban tersebut
akan sama dengan jawaban-jawaban ditempat lain. Tidak terbatas pada kondisi
geografis. Berbeda kalau dengan mitos. Seperti contoh misalnya, malam jum’at
adalah malam yang angker. Ditempat lain, argumen tersebut belum tentu bisa sama
dengan argumen disana. karena mitos merupakan buah pemikiran dari masyarakat
setempat. Itulah sebabnya mitos tidak bersifat universal, melainkan hanya
bersifat kelokalan.
Untuk
dapat masuk kedua filsafat, kawan-kawan haruslah mampu mengerti dan menguasai
tiga komponen sebagai berikut :
1.
Cara berpikir Logos (logis, menuju Rasional)
2.
Curious
(memiliki rasa ingin tahu, penasaran)
3.
Wisdom/Philia (Kebijaksanaan)
Untuk
bagian pertama, cara berpikir Logos sudah
saya terangkan di paragraf atas. Maka selanjutnya bagian kedua. Bagian kedua
adalah Curious atau memiliki rasa
ingin tahu, rasa penasaran dan lain sebagainya. Untuk belajar filsafat, kita
haruslah mempunyai rasa keingin tahuan yang tinggi. Seperti kata Bob Dino, kosongkanlah cangkir kita ketika bertemu
orang. Dalam artian, kita haruslah merendah diri dan memposisikan diri kita
sebagai orang yang ingin belajar. Dalam filsafat, kedudukan Curios sangatlah penting. Karena inilah
gerbang yang dapat membawa kita menuju ke pola pikir lebih matang. Dalam tahap
komponen Curious, kita harus
mengembangkan sikap Curious Wonder
(tiada hal yang biasa disekililing kita). Sikap inilah yang membuat kita akan
terus bertanya-tanya mencari jawaban. Semua hal yang berada disekitar kita, patut
kita perhatikan baik-baik. Beranggapan kita tidak tahu dan semua hal disekitar
kita itu penting untuk ditanyakan, maka inilah yang disebut dengan Corius, rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu
seperti ini, Output-nya (hasil akhir)
akan memunculkan sikap kritis pada diri kita. Sikap kritis ini menjadi salah
satu hal yang penting untuk kita kembang luaskan. Saya akan memberikan satu
contoh. Mengapa sinar matahari yang berada di pukul 12 siang itu terasa lebih panas
dibandingkan dengan sinar matahari yang berada pada pukul 5 sore ?, padahal
pada kedua jam tersebut, kulit kita sama-sama terpapar dan tersentuh langsung
oleh sinar matahari. Mengapa demikian ?, nah rasa Corius seperti nantinya akan menuntun kita pada satu jawaban
kebenaran – mengapa itu bisa terjadi – dan apabila kita sudah mengetahuinya,
maka kita sudah dapat mengkritisi beberapa argument yang nantinya akan
bermunculan terkait hal itu. jadi Corius mempunyai
kedudukan penting dalam syarat kita untuk masuk kedua filsafat.
Untuk
bagian ketiga ialah, Wisdom/Philia
(Kebijaksanaan). Berbicara filsafat, tidak hanya berbicara tentang kebenaran,
tetapi membicarakan juga tentang kebijaksanaan. Kebijaksanaan tu lahir dari
sebuah kebenaran yang sudah disesuaikan porposional dan proposionalnya
masing-masing. Nah inilah tadi yang disebut dengan kebenaran itu jembatan
menuju kebijaksanaan. Kebenaran apabila diteruskan secara vulgar atau tanpa di
sesuaikan lagi, maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak bijaksana (Pas). Oleh
karena itu, suatu kebenaran harus dikupas dulu porposional dan proposionalnya. Apabila
kebenaran tersebut sudah dikupas, maka akan munculah kebijaksanaan. Seperti contoh
misalnya. Ada teman kamu yang kulitnya hitam. Terus kamu manggilnya tem-item. Itu
memang merupakan suatu kebenaran. Dilihat dari bukti yang nyata, teman kamu
memang kulitnya hitam, maka itu benar. Tetapi hal tersebut tidak bijaksana
(pas). Karena tidak meletakkan porposional dan proposional pada tempatnya. Sehingga
hal tersebut tidak pas atau bijaksana. Oleh karena itu,
kebenaran tidak boleh langsung dikonsumsi secara mentah-mentah dan vulgar. Kita
harus bisa mengkondisikan porprosionalnya dan proposionalnya. Menuntukan komposisi
yang pas, sesuai dengan keadaan dan kondisi, maka akan terciptalah suatu
kebijaksanaan (Pas). Jadi suatu kebenaran itu bukan titik akhir, melainkan
hanya jalan menuju kebijaksanaan.
Mungkin
itu dulu pengantar filsafat dari saya, yang saya kupas dari materi pak
Fahruddin Faiz, Pemateri Ngaji Filsafat.

