Tan Malaka
(Sebuah Biografi Lengkap)
Masykur Arif Rahman
Judul : Tan Malaka (Sebuah Biografi Lengkap)
Penulis : Masykur Arif Rahman
Penerbit
: Laksana
Tahun
Terbit : 2018
Kota
Terbit : Yogyakarta
Editor
: Nur
Jumlah
Halaman : 312
Tema
: Biografi
Pengulas
: DewaRC
Ulasan :
“Barang siapa yang
menghendaki kemerdekaan untuk umum,
maka ia harus sedia ikhlas untuk
menderita
kehilangan kemerdekaan dirinya
sendiri“
Tan Malaka (1897 – 1949)
Datuk Tan Malaka atau akrabnya
dipanggil Tan Malaka, adalah sesosok mahaguru bangsa dan salah satu putra
terbaik yang dimiliki oleh bangsa ini. Tan Malaka adalah sesosok pahlawan besar
bagi Indonesia, namun profilnya terus saja ditutup-tutupi hingga pada akhirnya
ia menjadi pahlawan yang terlupakan. Sepak terjang Tan Malaka dikancah
perpolitikan Nusantara sangat begitu keras. Ialah yang berhasil
menginspirasikan banyak tokoh pahlawan lainnya, dan menjadi orang yang pertama
dalam mengonsepkan Indonesia berbentuk kesatuan Republik. Lewat bukunya yang
berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925) membuat pahlawan satu ini
mendapat gelar Bapak Republik. Melalui tulisan Masykur Arif Rahman inilah, akan
mengupas habis seputar Biografi perjalanan Tan Malaka dari kecil hingga ia mati
di ujung bedil tentara negaranya sendiri.
Ibrahim. Nama kecil yang ia sandang
sebelum gelar Datuk Tan Malaka disematkan pada dirinya. Ia lahir pada tahun
1897 disebuah kampung bernama Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat. Ayahnya seorang pegawai pertanian, H.M Rasad. Dan ibunya adalah
seorang wanita yang berasal dari keluarga terpandang di tempatnya, namanya
ialah Rangkayo Sinah. Dari garis keturunan ibunnya inilah, Tan Malaka menjadi
salah satu orang terpandang di desa tempat ia tinggal. Pada usia 16 tahun, Tan
Malaka sudah disuguhi tawaran oleh orang tuanya beserta warga kampung. Tawaran
itu ialah, pemberian gelar Datuk pada namanya yang akan menjadi Datuk Tan
Malaka. Dan tawaran kedua yaitu ditunangkan dengan seorang gadis yang sudah
diatur oleh keluarganya. Ibrahim yang pada saat itu masih berumur cukup muda,
menolak tawaran untuk ditunangkan dan setidaknya ia memilih gelar yang akan
disematkan pada namanya, Datuk Tan Malaka.
Tan Malaka mengenyam pendidikan
pertama kali di usia 6 tahun disekolah pemerintah kelas dua. Semasa sekolah Tan
Malaka dinilai telah cukup cerdas dalam menimba ilmu pengetahuan. Lalu para
guru menyarankan padanya untuk melanjutkan sekolah Kweekschool (Sekolah Guru Negeri) di Bukittinggi. Tan Malaka adalah
murid yang sangat cerdas. Kecerdasannya itu sangat memukau sehingga mendorong
Horensma (guru Tan Malaka) menyarakan ia untuk langsung menimbah ilmu di negeri
Eropa sana. Rijkskweekschool (sekolah menengah guru negeri) Belanda adalah
tujuan pendidikannya. Horensma menyadari akan kecerdasan anak ini, dan itu
tidak boleh disia-siakan demi kegunaan membangun negeri antah berantah ini
kedepannya. Tan Malaka dinilai akan menjadi sesesok manusia yang mampu membawa
negeri dan bangsanya keluar dari kemiskinan dan terlepas dari belenggu
kolonial.
Sehabis menyelaikan pendidikan di Eropa,
melewati berbagai rintangan seperti kondisi fisik yang sakit-sakitan akibat
badan yang tidak biasa dengan cuaca disana, makanan yang begitu aneh di lidah,
keuangan tipis dengan biaya hidup yang tinggi, permasalahan-permasalahan ideologi
dan hutang-piutang. Rentetan masalah ini dengan teguh ia lewati satu per satu,
sehingga ia berhasil lulus dan mengantongi ijazah pendidikan guru.
Sesampai di tanah air, ia dibantu
oleh Horensma untuk bekerja menjadi guru bagi anak-anak buruh perusahaan pabrik
di Deli, Sumatera Utara. Gaji yang ditawarkan pada pekerjaannya ini sangatlah
besar untuk ukuran masa itu, 350 Gulden. Walaupun memiliki gaji besar dan
kebutuhan hidup terpenuhi, membuat ia tak bisa menyembunyikan lebih jauh lagi
kegusaran tentang negerinya. Sekitar 1,5 ia telah bekerja disana, ia memutuskan
mengundurkan diri untuk terjun kedunia politik, bersama Ideologi Marxisme yang
ia pelajari selama berada di Eropa.
Dan disinilah babak baru kehidupan
Tan Malaka dimulai. Ia mulai aktif diberbagai organisasi politik dan tinggal di
tanah Jawa. Ia tergabung dengan Sarekat Islam, dan mendirikan Sekolah Islam
(SI) dibeberapa tempat seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera yang dibantu
oleh organisasi Boedi Oetomo. Tan Malaka juga sesorang ahli dalam
menterjemahkan teori-teori filsafat. Ia juga sering menulis famplet-famplet
pergerakan, menyokong teori pergerakan demi menentang kebiadaban imperealisme
dan kapitalisme di Nusantara. Akibat aktivitas yang dianggap sebagai provokator
pemberontakan, Tan Malaka ditangkap oleh Gubernur Jawa Barat karena dinilai
membahayakan umum dan menghasut masyarakat untuk memberontak pada pemerintah
kolonial. Penangkapan inilah yang membuat Tan Malaka dibuang dari Indonesia, menjadi
tahanan politik selama masa penghukuman, dan ia memutuskan untuk dibuang ke
negeri Belanda, tempat masa pendidikannya dulu.
Pembuangan atas dirinya, tidak
berarti ia diam begitu saja. Tan Malaka tampat lebih cekatan lagi dalam dunia
politik internasional. Ia terus diburu oleh negara-negara sekutu Belanda, yang
menyebabkan ia harus berpindah-pindah tempat kesana-kemari demi melanjutkan
perjuangannya yang ia sebut dengan Merdeka 100%. China, Fhilipina, Singapura,
Inggris dan Rusia, menjadi tempat persembunyiannya dari para agen rahasia yang
memburunya. Bahkan ditengah pelariannya itu, ia menjabat sebagai Agen Komintern
Internasionale Komunis di bagian Asia Tenggara.
20 tahun sudah Tan Malaka berada di
pengasingan. Di Indonesia, namanya telah terkubur akibat terdengar kabar bahwa
ia telah mati di terjang ombak. Di usia pelariannya itu, ia kembali lagi
menginjak Indonesia, setelah 20 tahun ditinggalkan. Ia mendarat di Medan, lalu
mencari tumpangan untuk bisa ke tanah Jawa. Sewaktu sampai di Jakarta, ia
menyewa sebuah gubuk reot kecil berdinding gedek bamboo di daerah Kalibata. Ia mulai
memperhatikan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya di Jakarta setelah ia
tinggalkan selama kurang lebih 20 tahun lamanya. Dari gubuk kecil itulah, lahir
sebuah mahakarya besar yang berisi pemikiran kritis Tan Malaka berjudul “Mateialisme,
Dialetika dan Logika” yang disingkat dengan MADILOG. Inilah mahakarya
peninggalan Tan Malaka yang sangat baik bagi kawan-kawan yang tengah berkubang
di ilmu Sosial-Politik.
Pasca kemerdekaan RI, Tan Malaka
mulai mengungkapkan identitas aslinya. Perannya pada detik-detik kemerdekaanya,
yaitu mendesak para pemimpin bangsa untuk segera mengambil tindak kemerdekaan,
tanpa harus menunggu pemberian dari Jepang. Sikap inilah yang dinilai
orang-orang bahwa Tan Malaka berhaluan cukup keras. Ia dianggap terlalu
radikal, meskipun pada akhirnya para barisan muda berhasil mendesak para
pemimpin untuk segara membacaka proklamasi kemerdekaan.
Dimasa Sutan Sjahrir menjadi perdana
menteri, Tan Malaka selalu menjadi sorotan pemerintah sebagai seorang radikal. Ia
dinilai ingin mengkudeta pemerintahan Seokarno melalui barisan Murbanya. Padahal
Tan Malaka sendiri mengadapakan rapat ataupun pertemuan revolusiner demi
mencapai Indonesia merdeka 100%. Gesekan antara Tan Malaka dan Sutan Sjahrir
mengantarkan ia pada pintu penjara. Semasa menjadi tahanan, Tan Malaka berhasil
menuliskan buku yang berisi kisah perjuangannya dari nol hingga sekarang. Buku itu
ia beri nama Dari Penjara ke Penjara.
Pasca keluar dari penjara, Tan Malaka tetap melanjutkan aktivitas
revolusionernya untuk mencapai Indonesia Merdeka 100%. Akibat aktivitasnya itu
yang dinilai mengangguh kedaulatan negara dan diplomasi antara
Indonesia-Belanda, maka pemerintah mengutuskan untuk memburu Tan Malaka. Di daerah
Jawa Timur, lebih tepatnya di dekat Sungai Brantas, Kediri. Tan Malaka
ditangkap lalu terjadi miss komunikasi antara tentara yang menangkap dan
perintah yang tengah diembannya. Satu buah peluru bersarang di tubuh Tan
Malaka, Tentara Republik, mengeksekusi sesosok pahlawan revolusioner ini. Tan
Malaka yang berjuang mati-matian segenap jiwa dan raga dengan mengorbankan
segala hawa nafsunya, rela menderita, dikejar kesana-kemari, bersembunyi
diujung-ujung dunia hanya demi untuk kemerdekaan Indonesia, malahan mati di
ujung bedil senjata tentara yang ia bela mati-matian. Inilah yang sering
disebut-sebut orang sebagai tumbal revolusi. Di akhir perjalanan hidupnya, Datuk
Tan Malaka itu, sang guru dari masyarakat murba, telah menjadi korban revolusi yang
tengah membabi buta.
Akhirnya, pada tanggal 28 maret 1963,
melalui keputusan Presiden Soekarno no. 53 Tahun 1963, Tan Malaka diangkat
sebagai Pahlawan Nasional. Sejak saat itulah, Tan Malaka mulai dikenal
orang-orang sebagai pahlawan nasional, bukan sebagai pejuang yang tidak diakui
oleh negara.
Pada masa Orde Baru, nama Tan Malaka
dipaksa untuk redup dan dihapuskan dari sejarah. Ia tidak diperkenankan masuk
kedalam kurikulum pelajaran yang diajarkan disekolah. Akibatnya tidak heran
kalau banyak anak-anak muda yang tidak tau dengan perjuangan beliau. Padahal beliau
pernah sebaris, bersahabat akrab, dan berjuang bersama dengan Panglima Sudirman
demi merebut Indonesia Merdeka 100%, dari cengkaraman Belanda yang ingin
menguasai Indonesia kembali pada Serangan Agresi Militer Belanda 1 & 2. Tan
Malaka dituduh terlibat dalam beberapa pemberontakan, apalagi Tan Malaka pernah
aktif di Organisasi PKI. Padahal Tan Malaka tidak pernah terlibat dengan
pemberontakan-pemrotakan itu. Pada tragedi Madiun, malahan Musso yang tengah
memburu Tan Malaka karena dianggap penghianat PKI. Sepak terjangnya dalam
operasi merebut Indonesia 100% mengantarkan ia pada fitnah berkepanjangan
hingga sampai sekarang.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar