Doa Tak Beralamat
Dewa Rain Cover
Kucoba memelekkan mata selebar-lebarnya
untuk menyudahi tidur malamku hari ini. Mentari sudah merongrong jauh tinggi
keatas angkasa dan dengan gagahnya menyinari separuh muka bumi ini. Kulihat jam
yang terletak diatas tv, jam kecil itu seolah-olah meraungkan terompet tahun
baru untuk membuatku cepat bergegas melepas mimpi yang tak terlalu inda. Setengah
sembilan, tumben aku bisa bangun seawal ini. biasanya aku bangun ketika azan
zuhur tengah bergema menggentarkan seperempat kampungku. Kukucek-kucek mata,
tertangkap sebongkah tahi mata kecil, Kutekan-tekan menggunakan ibu jari dan
telunjukku, kubelah-belah hingga menjadi kecil-kecil meggunakan pisau kuku yang
lumayan tajam karena sudah seminggu tidak dipotong.
Seperti ada yang tidak beres pada pipi
bawahku dekat bibir, ternyata benar bekas uapan air liur yang tumpah ruah dibantal
akibat dasyatnya tidurku semalam. Ketemui diriku dalam posisi tidur yang cukup
aneh karena tidak sama dengan pertama aku menggeletakkan tubuh. Alhasil
terjawab sudah, aku berputar sekitar 180
dari posisi tidurku semula. Betapa letih
tubuhku. Perasaan malas tiba-tiba menggerayangi seluruh badan hingga
keujung-ujung tumit dan jari kaki. Aku masih saja tergolek diatas kasur seperti
ayam jantan yang terteguk karet gelang. Mengapa badan ini sangat sulit untuk
bangkit. Apa karena aku sakit ? atau kecapekan ? atau sedang malas ? atau
jangan-jangan sedang ada rencana pemberontakan dan kudeta atas badanku yang
dilakukan oleh jerohan isi tubuh (otot, darah, kelenjar, saraf, lemak, dll).
Jangan-jangan jasmani ini sudah mulai membangkang terhadap roda pemerintahan
yang dikendalikan oleh otak dan rohani. Persetan dengan semua pikiran itu, aku
tetap saja tergolek sambil mendengar kipas angin yang bunyinya tidak sempurna
karena terdapat baut yang kendor di belakang kipas. Pada akhirnya kuputuskan
untuk memajamkan mata lagi.
Setengah
Sembilan lewat sepuluh menit, mataku terbuka lagi sekaligus membawa sejuta
pikiran atas masalah hati yang terbawa dihari kemarin. Secarik cerita yang membuat
aku linglung bukan kepalang hingga pagi ini. Kemarin, kulihat ia sedang ingin
bepergian, dengan membawa tas dukung dan tas kecil ditangan yang kutebak itu
berisi pakaian. Ia sudah mengantongi tiket pesawat terbang yang dibelinya
secara online.
“Mau kemana kau
mir ?” tanyaku via whatsap
“Pulang kampung
kak” jawabnya
“Oo mau lebaran
disana ya ?”
“iyaa kak,
ketempat sodara”
“gak sama ayah
dan bunda yah ?”
“Iya kak,
sendirian aja”
“hati-hati ya
kamunya”
“baik kak”
Rasanya ingin
kuteruskan obrolan itu, tapi terlalu singkat ia membalas percakapanku. aku
pikir ia tengah sibuk menunggu pesawat dan menjaga barang-barangnya, sehingga
ia tidak terlalu fokus pada hanphone yang dipegangnya.
Miriam adalah
seorang gadis yang kucintai sejak 3 tahun lalu. Pertemuanku secara tidak
sengaja dengannya, didekat sebuah hutan kota yang kerap ramai dikunjungi orang
untuk bertamasya dan berpacaran. Ia merupakan sesosok gadis yang periang,
asyik, gokil, cukup feminis, dan nampak sedikit anggun. Ia seperti bunga yang
baru mekar ditengah hutan kota pada waktu hujan berhenti melakukan kegiatan
rutinnya. Ia nampak semakin jelita ketika menyipitkan mata akibat melepaskan
tawa riuh dari setiap lawakan yang kubawa. Hati kecilku tertegun menyaksikan
nikmat Tuhan yang satu ini. lalu kulafaskan “Subhanallah” indahnya ciptaanmu
Tuhanku. Aku makin dalam merasakan kecantikannya, kuhiasi relung hatiku yang
paling dalam dengan aneka bunga-bunga yang bermekaran disepanjang Asia Tenggara
dan Asia Barat Daya. Kustepleskan dinding itu dengan kalimat-kalimat romantis
keluaran dari tinta pena Khalil Gibran dan William Shakespare. Lalu kutebarkan
kertas-kertas diatas lantai yang bertuliskan puisi-puisi Rumi, W.S Rendra,
Supardi, dan Wiji Thukul. Lilin-lilin listrik kuhidupkan. Kuhidangkan
gorengan-gorengan terlezat khas buatan ibu-ibu warung SMP dikampungku.
Kutuangkan sirup jeruk disetiap cangkir yang mengangah diatas meja. Semua
kubuat hanya untuk menyambut kedatangannya di relung qolbu.
Sontak aku
mulai bubruk di atas pondasi yang kubuat kuat sedemikian rupa. Ternyata mir,
hanya bagian dari konspirasi alam semesta untuk menabrakan diriku
ketengah-tengah gulungan ombak laut cina selatan. Dengan sangat sopan mir
menyikapi aku dingin, mungkin ia sudah membaca gerik-gerik tingkahku yang hendak
meminangnya dihati ini. Ia mulai menjaga jarak. Senyum manisnya berganti
menjadi kelabu tanpa kata ikhlas. Aku jatuh, terjatuh dan terjatuh cukup dalam.
Terperosok bagai seekor tikus yang terjatuh kedalam lubang ular sawah. Sekejap
aku terpejam, ternyata hatinya terlalu penuh untuk menampung seluruh berat,
bobot dan beban badanku. Seketika jam kurasai berdetak dengan lambat. Tiap alunan
bunyinya yang tak-tak-tak selalu kuikuti dengan anggukan kepala. Nampaknya
harapanku mulai menghadapi gerbang kepupusan. Dan berakhir tragis tanpa
sedikitpun kata yang terungkap kepadanya.
Kejadian itu
cukup lama. Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu. Aku mundur atas apa yang
belum pernah aku mulai. Aku menyerah pada perang yang sama sekali belum aku
umumkan. Aku menyerah pada keadaan, tidak berani untuk memulai akibat melihat
situasi dan kondisi yang sangat tidak memungkinkan. Aku kembali membawa sejuta
senyum berat. Hati yang telah kuhias seluar-biasa mungkin, telah mulai aku
beresi dan mengembalikan dekorasinya. Pupus sudah aku, aku mecintainya, tapi
aku kalah dengan keadaan. Hidup memang terkadang penuh dengan teka-teki. Aku
berusaha untuk tetap mensyukuri itu, mungkin Tuhan belum merestui persatuan
kami.
“gimana mir
udah dipesawat ?”
“Sudah kak,
udah siap”
“oke, hati-hati
ya, salam untuk keluarga”
“baik kak”
Penerbangannya
hari itu, membuat aku sedikit tersenyum. Akibat keberangkatannya, ia mau
membalas chatanku walau hanya beberapa butir percakapan. Tentu saja kawan, aku
sangat menikmati detik-detik itu.
Azan zhuhur
terdengar, setelah beberapa jam percakapan kami berakhir. Aku mulai berdiri dan
berjalan ke dapur untuk mengambil air wudhu. Kuusak-usakan rambutku yang cukup
panjang, kubuat ia menyeringai seperti gondoruwo atau raksasa-raksasa yang
terdapat dalam mitologi jawa. Kubentang sejadah, kuambil peci hitam, lalu mulai
melafaskan niat untuk menghadap Tuhan yang maha esa. Empat rakaat kulalui, lalu
menutupnya dengan dua kali salam. Duduk aku dihadapannya, ingin memanjatkan doa
dan permintaan, tetapi tiba-tiba hatiku terdiam. Ia aku membisu. Aku membisu.
Aku membisu. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kusadari Tuhan kita berbeda. Aku
bingung, bingung, lunglai. Tertunduk dan tertegun. Bagamaina aku mau mengadukan
permintaanku, sedangkan kita saja berbeda. Masya Allah, aku mau meneteskan air
mata akibat kebingungan ini. Aku masih saja terlena diatas sejadah. Mencoba
untuk mengaduh dengan Tuhan. Tapi aku malu, entah bagaimana aku mengadukannya,
sedangkan kita berlainan Tuhan. Aku mengusapkan kepala sembari menyebut asma-asmamu
Tuhanku. Kulepaskan peci, kulipat sejadah, dan aku kembali menggeletakan
badanku diatas kasur. Kupandangi lampu putih yang belum kumatikan dari semalam.
Putih, bersih, silau, indah, tenang dan damai. Aku berkhayal seakan-akan sedang
menghadap Tuhan. Ingin aku mengaduhkan keluh-kesah dan kebingunganku ini. Tapi
aku takut, dan hanya membungkamnya didalam buku-buku hati. Aku bingung harus
bagaimana untuk bisa menyampaikan doa atas kesalamatan dirinya. Aku bingung
apakah aku bisa memanjatkan doa pada Tuhanku, agar ia mau mengabulkan atas
dirinya. Atau aku harus berdoa pada Tuhannya, tapi apakah Tuhannya mau
mendengarkan ?. atau aku berdoa saja pada Tuhanku lalu apakah ia akan
menyampaikannya kepada Tuhannya ? atau apa memang Tuhan itu satu, dan yang
berbeda hanyalah pola dan cara untuk berinteraksi pada-Nya ? apakah aku cukup
membatin mendoakan, dan Tuhan akan mendengarkannya ?. aku tenggelam jauh dalam
lingkaran pikiran linglung ini. aku semakin bertambah tidak mengerti atas
pikiranku ini. aku terjebak dalam kecemasanku untuk mendoakan si dia yang
memang benar-benar aku cintai. Apakah perbedaan cara menyembah membuat kami
sulit untuk saling mendoakan. Tuhanku ketahuilah, maafkan atas kekeliruan
pikiranku.
Terlelap mataku
diatas kebingungan itu. terbuka kembali, ketika azan Ashar berkumandang dengan
merdu. Kubuka mata, kujernihkan pikiran, kumantapkan untuk mengaduhkan semua
perihal kebingungan ini kepada Tuhanku. Pergi aku berlarian bersama ketakutan.
Kuambil wudhu, membentangkan sejadah, mengambil kopiah, dan aku mantapkan
sekali lagi diriku solat dengan membawa doa untuk menjawab kelarahan hati ini.
Kulafaskan niat, dan kumulai. Empat rakaat terlampaui, lalu ditutup dengan
salam dua kali. Menunduk aku dihadapannya. Bergetar bibirku, kugigit bibir
bawah itu, tapi tidak mengubah keadaan. Getaran itu semakin menjadi-jadi.
Hatiku mulai mengkerut, nafasku tersedak-sedak, jantungku kempang-kempis
memompah darah kecemasan. Mulai kugerakan mulut dan lidah, sembari menadahkan
tangan untuk berdoa. Kukeluarkan sepatah-duapatah kosa kata yang tersusun
menjadi deretan doa. Kukuasai perasaanku untuk berani mengungkapkan kegelisahan
hati didepan Tuhan, maha pemilik diriku dan semesta ini. Lidah dan bibir
nampaknya berhasil kukuasai, dengan lantang dan lancar, kukeluarkan semua isi
yang ada pada benak dan pikiranku. Kuaduhkan semua kepada Tuhanku disenja itu.
kuluapkan semua kebingunganku dihadapan Tuhanku. Doaku tidaklah panjang, hanya
sebaris kata "Tuhan tolong perlancarkan perjalanannya, Aamiin”. Kusudahi
ibadah itu, kubereskan sejadah dan kopiah. Lalu kembali kekamar, dan langsung
mengambil sebuah buku sastra untuk mengalihkan perasaan bingungku.
Kukuasi lagi
diriku sepenuhnya. Kegundahan sudah mulai larut dalam keheningan senja. Sore
itu diguyuri hujan merdu, menutup kegamangan jiwa yang mengobrak-abrik isi jiwa
raga. Lekas mandi, membuang semua peluh yang lengket dihati. Kututup lembaran
kebingungan ini, dengan secarik doa nanti ketika waktu magrib berkunjung.
Setelah mandi, kupilih baju sehari-hariku yang sederhana. Kuambil warna putih,
untuk menggambarkan suasana hati yang tengah beranjak dari megah mendung siang
tadi. kupakai wangi-wangian, kupotong kuku, kusisir rambut, lalu duduk sebentar
sembari menunggu azan magrib yang sangat ditunggu-tunggu itu. Aku berniat akan
mengakhiri doa untuknya pada pertemuanku dengan Tuhan Magrib ini. Dua doa
terlafaskan, menurutku sudah cukup untuk meminta kesalamatan atas keadaan
dirimu diperjalanan. Kulengkapi diriku sesempurna mungkin, kupakai sarung dan
peci peninggalan kakekku, lekas kebelakang untuk mengambil wudhu. Akhirnya yang
ditunggu-tunggu pun tiba. Raungan azan dari masjid agung, mulai menggemah
meraksasai kampung. Aku sudah tak sabar lagi untuk melafaskan doa terakhir atas
kesalamatanmu dijalan hari ini. Kuputuskan untuk mengakhirinya diwaktu Magrib,
karena hendak berbarengan dengan terbenamnya mentari senjakala sang pencerah
langit dan bumi. Sinar jingga bergerilya menembus kaca dihadapanku. Mentari
seakan-akan enggan untuk berlalu, karena ingin menyaksikan aksi doa terakhirku
atas kebingungan ini. Kucing tetangga duduk manis menatap ragaku, aku pun
mengangkat dagu, sambil menggerakan alis kanan memberikan isyarat padanya bahwa
aku telah siap. Suara azan magrib mulai redah, tandanya solat magrib sudah siap
untuk dilaksanakan. Tanpa panjang lebar langsung kulafaskan niat dan mulai
bersembayang. Tiga rakaat selesai dengan khidmat, dan tak lupa ditutup dengan
dua salam. Langsung tanpa basa-basi kutadahkan doa, kuluapkan semua doa-doaku
tentangnya. Begitu juga kegamanganku tentang cara berdoanya. Aku tahu engkau
maha segalanya Tuhanku yang maha pemurah dan penyayang. Ketahuilah, aku hanya
ingin berdoa atas kesalamatan dirinya dalam perjalanan. Tidakkah engkau maha
pengabul, tolong kabulkanlah doa hambamu ini Tuhanku. Aku tahu, kami berlainan
keyakinan dan cara berdoa kepadamu, tapi aku mohon dengan segala hinaku, tolong
berikanlah kesalamatan dirinya atas kuasa dan ridhomu Ya Allah. Kututup doaku
dengan lantunan doa selamat, dan kuakhiri dengan doa orang tua. Rasanya hatiku
lega, meninggalkan sejuta peluh dan kesah tentang kebingungan atas doa-doa yang
tak beralamat. Kututup hariku ini selepas makan dan solat isya. Lalu kubenamkan
tubuhku ditengah-tengah kasur lesehan dan sederet bantal yang penuh dengan debu
dan bekas liur. Kubisikan kecil kata-kata sebelum menutup mata, semoga sampai
ditelingamu. “Jaga dirimu, mir”.
Kesokan harinya, aku terbangun pada pukul
setengah Sembilan pagi. Ternyata kecemasan barupun bermunculan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar