Kamis, 05 Juli 2018

Doa Tak Beralamat


Doa Tak Beralamat
Dewa Rain Cover

Kucoba memelekkan mata selebar-lebarnya untuk menyudahi tidur malamku hari ini. Mentari sudah merongrong jauh tinggi keatas angkasa dan dengan gagahnya menyinari separuh muka bumi ini. Kulihat jam yang terletak diatas tv, jam kecil itu seolah-olah meraungkan terompet tahun baru untuk membuatku cepat bergegas melepas mimpi yang tak terlalu inda. Setengah sembilan, tumben aku bisa bangun seawal ini. biasanya aku bangun ketika azan zuhur tengah bergema menggentarkan seperempat kampungku. Kukucek-kucek mata, tertangkap sebongkah tahi mata kecil, Kutekan-tekan menggunakan ibu jari dan telunjukku, kubelah-belah hingga menjadi kecil-kecil meggunakan pisau kuku yang lumayan tajam karena sudah seminggu tidak dipotong.
Seperti ada yang tidak beres pada pipi bawahku dekat bibir, ternyata benar bekas uapan air liur yang tumpah ruah dibantal akibat dasyatnya tidurku semalam. Ketemui diriku dalam posisi tidur yang cukup aneh karena tidak sama dengan pertama aku menggeletakkan tubuh. Alhasil terjawab sudah, aku berputar sekitar 180 dari posisi tidurku semula. Betapa letih tubuhku. Perasaan malas tiba-tiba menggerayangi seluruh badan hingga keujung-ujung tumit dan jari kaki. Aku masih saja tergolek diatas kasur seperti ayam jantan yang terteguk karet gelang. Mengapa badan ini sangat sulit untuk bangkit. Apa karena aku sakit ? atau kecapekan ? atau sedang malas ? atau jangan-jangan sedang ada rencana pemberontakan dan kudeta atas badanku yang dilakukan oleh jerohan isi tubuh (otot, darah, kelenjar, saraf, lemak, dll). Jangan-jangan jasmani ini sudah mulai membangkang terhadap roda pemerintahan yang dikendalikan oleh otak dan rohani. Persetan dengan semua pikiran itu, aku tetap saja tergolek sambil mendengar kipas angin yang bunyinya tidak sempurna karena terdapat baut yang kendor di belakang kipas. Pada akhirnya kuputuskan untuk memajamkan mata lagi.
            Setengah Sembilan lewat sepuluh menit, mataku terbuka lagi sekaligus membawa sejuta pikiran atas masalah hati yang terbawa dihari kemarin. Secarik cerita yang membuat aku linglung bukan kepalang hingga pagi ini. Kemarin, kulihat ia sedang ingin bepergian, dengan membawa tas dukung dan tas kecil ditangan yang kutebak itu berisi pakaian. Ia sudah mengantongi tiket pesawat terbang yang dibelinya secara online.
            “Mau kemana kau mir ?” tanyaku via whatsap
            “Pulang kampung kak” jawabnya
            “Oo mau lebaran disana ya ?”
            “iyaa kak, ketempat sodara”
            “gak sama ayah dan bunda yah ?”
            “Iya kak, sendirian aja”
            “hati-hati ya kamunya”
            “baik kak”
            Rasanya ingin kuteruskan obrolan itu, tapi terlalu singkat ia membalas percakapanku. aku pikir ia tengah sibuk menunggu pesawat dan menjaga barang-barangnya, sehingga ia tidak terlalu fokus pada hanphone yang dipegangnya.
            Miriam adalah seorang gadis yang kucintai sejak 3 tahun lalu. Pertemuanku secara tidak sengaja dengannya, didekat sebuah hutan kota yang kerap ramai dikunjungi orang untuk bertamasya dan berpacaran. Ia merupakan sesosok gadis yang periang, asyik, gokil, cukup feminis, dan nampak sedikit anggun. Ia seperti bunga yang baru mekar ditengah hutan kota pada waktu hujan berhenti melakukan kegiatan rutinnya. Ia nampak semakin jelita ketika menyipitkan mata akibat melepaskan tawa riuh dari setiap lawakan yang kubawa. Hati kecilku tertegun menyaksikan nikmat Tuhan yang satu ini. lalu kulafaskan “Subhanallah” indahnya ciptaanmu Tuhanku. Aku makin dalam merasakan kecantikannya, kuhiasi relung hatiku yang paling dalam dengan aneka bunga-bunga yang bermekaran disepanjang Asia Tenggara dan Asia Barat Daya. Kustepleskan dinding itu dengan kalimat-kalimat romantis keluaran dari tinta pena Khalil Gibran dan William Shakespare. Lalu kutebarkan kertas-kertas diatas lantai yang bertuliskan puisi-puisi Rumi, W.S Rendra, Supardi, dan Wiji Thukul. Lilin-lilin listrik kuhidupkan. Kuhidangkan gorengan-gorengan terlezat khas buatan ibu-ibu warung SMP dikampungku. Kutuangkan sirup jeruk disetiap cangkir yang mengangah diatas meja. Semua kubuat hanya untuk menyambut kedatangannya di relung qolbu.
            Sontak aku mulai bubruk di atas pondasi yang kubuat kuat sedemikian rupa. Ternyata mir, hanya bagian dari konspirasi alam semesta untuk menabrakan diriku ketengah-tengah gulungan ombak laut cina selatan. Dengan sangat sopan mir menyikapi aku dingin, mungkin ia sudah membaca gerik-gerik tingkahku yang hendak meminangnya dihati ini. Ia mulai menjaga jarak. Senyum manisnya berganti menjadi kelabu tanpa kata ikhlas. Aku jatuh, terjatuh dan terjatuh cukup dalam. Terperosok bagai seekor tikus yang terjatuh kedalam lubang ular sawah. Sekejap aku terpejam, ternyata hatinya terlalu penuh untuk menampung seluruh berat, bobot dan beban badanku. Seketika jam kurasai berdetak dengan lambat. Tiap alunan bunyinya yang tak-tak-tak selalu kuikuti dengan anggukan kepala. Nampaknya harapanku mulai menghadapi gerbang kepupusan. Dan berakhir tragis tanpa sedikitpun kata yang terungkap kepadanya.
            Kejadian itu cukup lama. Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu. Aku mundur atas apa yang belum pernah aku mulai. Aku menyerah pada perang yang sama sekali belum aku umumkan. Aku menyerah pada keadaan, tidak berani untuk memulai akibat melihat situasi dan kondisi yang sangat tidak memungkinkan. Aku kembali membawa sejuta senyum berat. Hati yang telah kuhias seluar-biasa mungkin, telah mulai aku beresi dan mengembalikan dekorasinya. Pupus sudah aku, aku mecintainya, tapi aku kalah dengan keadaan. Hidup memang terkadang penuh dengan teka-teki. Aku berusaha untuk tetap mensyukuri itu, mungkin Tuhan belum merestui persatuan kami.
            “gimana mir udah dipesawat ?”
            “Sudah kak, udah siap”
            “oke, hati-hati ya, salam untuk keluarga”
            “baik kak”
            Penerbangannya hari itu, membuat aku sedikit tersenyum. Akibat keberangkatannya, ia mau membalas chatanku walau hanya beberapa butir percakapan. Tentu saja kawan, aku sangat menikmati detik-detik itu.
            Azan zhuhur terdengar, setelah beberapa jam percakapan kami berakhir. Aku mulai berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengambil air wudhu. Kuusak-usakan rambutku yang cukup panjang, kubuat ia menyeringai seperti gondoruwo atau raksasa-raksasa yang terdapat dalam mitologi jawa. Kubentang sejadah, kuambil peci hitam, lalu mulai melafaskan niat untuk menghadap Tuhan yang maha esa. Empat rakaat kulalui, lalu menutupnya dengan dua kali salam. Duduk aku dihadapannya, ingin memanjatkan doa dan permintaan, tetapi tiba-tiba hatiku terdiam. Ia aku membisu. Aku membisu. Aku membisu. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kusadari Tuhan kita berbeda. Aku bingung, bingung, lunglai. Tertunduk dan tertegun. Bagamaina aku mau mengadukan permintaanku, sedangkan kita saja berbeda. Masya Allah, aku mau meneteskan air mata akibat kebingungan ini. Aku masih saja terlena diatas sejadah. Mencoba untuk mengaduh dengan Tuhan. Tapi aku malu, entah bagaimana aku mengadukannya, sedangkan kita berlainan Tuhan. Aku mengusapkan kepala sembari menyebut asma-asmamu Tuhanku. Kulepaskan peci, kulipat sejadah, dan aku kembali menggeletakan badanku diatas kasur. Kupandangi lampu putih yang belum kumatikan dari semalam. Putih, bersih, silau, indah, tenang dan damai. Aku berkhayal seakan-akan sedang menghadap Tuhan. Ingin aku mengaduhkan keluh-kesah dan kebingunganku ini. Tapi aku takut, dan hanya membungkamnya didalam buku-buku hati. Aku bingung harus bagaimana untuk bisa menyampaikan doa atas kesalamatan dirinya. Aku bingung apakah aku bisa memanjatkan doa pada Tuhanku, agar ia mau mengabulkan atas dirinya. Atau aku harus berdoa pada Tuhannya, tapi apakah Tuhannya mau mendengarkan ?. atau aku berdoa saja pada Tuhanku lalu apakah ia akan menyampaikannya kepada Tuhannya ? atau apa memang Tuhan itu satu, dan yang berbeda hanyalah pola dan cara untuk berinteraksi pada-Nya ? apakah aku cukup membatin mendoakan, dan Tuhan akan mendengarkannya ?. aku tenggelam jauh dalam lingkaran pikiran linglung ini. aku semakin bertambah tidak mengerti atas pikiranku ini. aku terjebak dalam kecemasanku untuk mendoakan si dia yang memang benar-benar aku cintai. Apakah perbedaan cara menyembah membuat kami sulit untuk saling mendoakan. Tuhanku ketahuilah, maafkan atas kekeliruan pikiranku.
            Terlelap mataku diatas kebingungan itu. terbuka kembali, ketika azan Ashar berkumandang dengan merdu. Kubuka mata, kujernihkan pikiran, kumantapkan untuk mengaduhkan semua perihal kebingungan ini kepada Tuhanku. Pergi aku berlarian bersama ketakutan. Kuambil wudhu, membentangkan sejadah, mengambil kopiah, dan aku mantapkan sekali lagi diriku solat dengan membawa doa untuk menjawab kelarahan hati ini. Kulafaskan niat, dan kumulai. Empat rakaat terlampaui, lalu ditutup dengan salam dua kali. Menunduk aku dihadapannya. Bergetar bibirku, kugigit bibir bawah itu, tapi tidak mengubah keadaan. Getaran itu semakin menjadi-jadi. Hatiku mulai mengkerut, nafasku tersedak-sedak, jantungku kempang-kempis memompah darah kecemasan. Mulai kugerakan mulut dan lidah, sembari menadahkan tangan untuk berdoa. Kukeluarkan sepatah-duapatah kosa kata yang tersusun menjadi deretan doa. Kukuasai perasaanku untuk berani mengungkapkan kegelisahan hati didepan Tuhan, maha pemilik diriku dan semesta ini. Lidah dan bibir nampaknya berhasil kukuasai, dengan lantang dan lancar, kukeluarkan semua isi yang ada pada benak dan pikiranku. Kuaduhkan semua kepada Tuhanku disenja itu. kuluapkan semua kebingunganku dihadapan Tuhanku. Doaku tidaklah panjang, hanya sebaris kata "Tuhan tolong perlancarkan perjalanannya, Aamiin”. Kusudahi ibadah itu, kubereskan sejadah dan kopiah. Lalu kembali kekamar, dan langsung mengambil sebuah buku sastra untuk mengalihkan perasaan bingungku.
            Kukuasi lagi diriku sepenuhnya. Kegundahan sudah mulai larut dalam keheningan senja. Sore itu diguyuri hujan merdu, menutup kegamangan jiwa yang mengobrak-abrik isi jiwa raga. Lekas mandi, membuang semua peluh yang lengket dihati. Kututup lembaran kebingungan ini, dengan secarik doa nanti ketika waktu magrib berkunjung. Setelah mandi, kupilih baju sehari-hariku yang sederhana. Kuambil warna putih, untuk menggambarkan suasana hati yang tengah beranjak dari megah mendung siang tadi. kupakai wangi-wangian, kupotong kuku, kusisir rambut, lalu duduk sebentar sembari menunggu azan magrib yang sangat ditunggu-tunggu itu. Aku berniat akan mengakhiri doa untuknya pada pertemuanku dengan Tuhan Magrib ini. Dua doa terlafaskan, menurutku sudah cukup untuk meminta kesalamatan atas keadaan dirimu diperjalanan. Kulengkapi diriku sesempurna mungkin, kupakai sarung dan peci peninggalan kakekku, lekas kebelakang untuk mengambil wudhu. Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Raungan azan dari masjid agung, mulai menggemah meraksasai kampung. Aku sudah tak sabar lagi untuk melafaskan doa terakhir atas kesalamatanmu dijalan hari ini. Kuputuskan untuk mengakhirinya diwaktu Magrib, karena hendak berbarengan dengan terbenamnya mentari senjakala sang pencerah langit dan bumi. Sinar jingga bergerilya menembus kaca dihadapanku. Mentari seakan-akan enggan untuk berlalu, karena ingin menyaksikan aksi doa terakhirku atas kebingungan ini. Kucing tetangga duduk manis menatap ragaku, aku pun mengangkat dagu, sambil menggerakan alis kanan memberikan isyarat padanya bahwa aku telah siap. Suara azan magrib mulai redah, tandanya solat magrib sudah siap untuk dilaksanakan. Tanpa panjang lebar langsung kulafaskan niat dan mulai bersembayang. Tiga rakaat selesai dengan khidmat, dan tak lupa ditutup dengan dua salam. Langsung tanpa basa-basi kutadahkan doa, kuluapkan semua doa-doaku tentangnya. Begitu juga kegamanganku tentang cara berdoanya. Aku tahu engkau maha segalanya Tuhanku yang maha pemurah dan penyayang. Ketahuilah, aku hanya ingin berdoa atas kesalamatan dirinya dalam perjalanan. Tidakkah engkau maha pengabul, tolong kabulkanlah doa hambamu ini Tuhanku. Aku tahu, kami berlainan keyakinan dan cara berdoa kepadamu, tapi aku mohon dengan segala hinaku, tolong berikanlah kesalamatan dirinya atas kuasa dan ridhomu Ya Allah. Kututup doaku dengan lantunan doa selamat, dan kuakhiri dengan doa orang tua. Rasanya hatiku lega, meninggalkan sejuta peluh dan kesah tentang kebingungan atas doa-doa yang tak beralamat. Kututup hariku ini selepas makan dan solat isya. Lalu kubenamkan tubuhku ditengah-tengah kasur lesehan dan sederet bantal yang penuh dengan debu dan bekas liur. Kubisikan kecil kata-kata sebelum menutup mata, semoga sampai ditelingamu. “Jaga dirimu, mir”.
Kesokan harinya, aku terbangun pada pukul setengah Sembilan pagi. Ternyata kecemasan barupun bermunculan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca juga ini

Pengantar Filsafat

Pengantar Filsafat Ngaji Filsfat  Fahruddin Faiz Pengulas : DewaRC Belajar Filsafat adalah suatu cara yang dapat kit...

yang lain