
peREmpuan
Maman Suherman
Melur tak akan pernah melupakan satu nasihat, yang Om
sampaikan beberaa hari yang lalu. "Keadilan yang dilanggar tidak boleh
diadili melalui cara tidak adil." Meski definisi keadilan itu sendiri
berbeda-beda bagi setiap orang. Adil buat kita, belum tentu adil buat orang
lain. Adil bagi yang mengambil, belum tentu adil bagi yang terambil. Tapi
seperti kata Om juga, selalu percaya pada janji baik kehidupan. Kebaikan tak
pernah berubah menjadi bangkai. Dia abadi. Seperti ibuku, yang abadi dalam kenanganku.
Dia tidak pernah mati!" (hal 178)
Seperti padang ilalang kering. lembut, indah, tenang,
bergoyang kesana-kemari mengikuti kemana arah angin pergi, menikmati nasib,
menikmati hidup, menikmati takdir, menikmati kemauanNya.
Setenang-tenangnya padang ilalang itu menikmati hidup,
sangat rentan sekali ia bergelora berubah menjadi bencana pengrusak maha dasyat
ketika mulai diterpa api yang tengah menunggunya.
Ketika sang pengkhawatir sekian lama terpenjara dalam
kekhawatirannya, pada akhirnya ia tetap berjumpa dengan puncak kekhawatirannya
itu.
Ia tak pernah salah, ia menasehati dan mendidik sebaik
mungkin untuk dapat meredam gelora api yang ditakutkannya. Begitu sebaliknya,
si gadis tak pernah salah. Ia juga tidak menyalahkan hukum alam, manusia, apalagi
Tuhan.
Ia hanya terbawa suasana haru kehidupan susah masyarakat
yang berada di kelas bawah. Iya kasta bahwa. Ia hanya menjalankan bagaimana
pikiran harunya itu menyelimuti duka setiap manusia yang tertindas.
Tapi ingatlah seperti kata Ebiet G Ade dalam lagunya
Seberkas Cinda Yang Hilang "Masih sanggup untuk kutahankan, meski telah
kau lumatkan hati ini. Kau sayat luka baru di atas luka lama, coba bayangkan
betapa sakitnya".
Tidak ada kesudahan apabila hanya terus menguliti luka lama. Walau kau benci
akan buruknya bekas luka itu, tetap saja kau harus mampu membiarkannya sembuh
agar kau dapat terlepas dari kurungan
sakit yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar